Winan Hilmi Rizqin Prijatna, S.H.


PHOTO: https://jurnalpost.com/

Salah satu perkembangan pada bidang hukum yang menyangkut sisi kemanusiaan dan biotek adalah penanganan reproduksi pada manusia yang dimulai dengan ditemukannya metode penyimpanan sperma yang dilanjuti dengan cara kehamilan diluar rahim (in vitro fertilization atau IVF). Sejak tahun 1970, IVF telah dikembangkan menjadi suatu upaya yang dikenal sebagai surrogate mother. Upaya ini dilakukan dengan cara sel telur ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal istri yang dipertemukan melalui IVF, ditanam dalam rahim perempuan yang bukan istri (gestational surrogacy). Selain itu, sel telur berasal dari perempuan lain yang bukan istri, kemudian dipertemukan dengan sperma dari suami yang selanjutnya ditanam dalam rahim perempuan tersebut (genetic surrogacy). 

Praktik seperti ini telah sering kali dilakukan di Eropa maupun Amerika Serikat, namun praktik ini tidak lazim dilakukan di Indonesia. Praktik kedokteran di Indonesia hanya mengakui dan melakukan praktik IVF saja. Surrogate Mother adalah perempuan yang menampung pembuahan suami-istri dan diharapkan melahirkan anak hasil pembuahan. Hubungan diantara perempuan dengan suami-istri tersebut didasari dengan gestational agreement, yaitu perjanjian antara seorang perempuan yang mengikatkan diri dengan suami-istri untuk menjadi hamil terhadap hasil pembuahan suami-istri tersebut yang ditanamkan ke dalam rahimnya dan setelah melahirkan, diharuskan menyerahkan bayi tersebut kepada pihak suami-istri berdasarkan perjanjian tersebut. 

Hingga saat ini, peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia belumlah mengatur secara rinci. Namun, secara yuridis berdasarkan Pasal 1338 Jo. Pasal 1320 BW dapat digunakan untuk mengkaji berdasarkan substansial perjanjian tersebut. Berdasarkan pasal 1338 BW mengatur mengenai asas kebebasan berkontrak dimana para pihak dalam membuat suatu perjanjian bebas untuk membuat perjanjian baik mengenai isi maupun bagaimana bentuknya. Akan tetapi, asas kebebasan berkontrak tersebut tidak boleh melanggar syarat sah suatu perjanjian yang terdiri atas : kesepakatan para pihak yang membuat perjanjian, kecakapan dalam membuat perjanjian, suatu hal tertentu, dan sebab yang halal. [1] Berdasarkan Pasal 1338 Jo. Pasal 1320 BW dapat diketahui bahwa asas kebebasan berkontrak yang tercipta atas kesepakatan para pihak yang membuat gestational agreement tidak dapat diartikan sebagai kebebasan secara mutlak karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan, maupun ketertiban umum.[2]

Hal ini tentunya bertentangan dengan ketentuan Pasal 58 UU Kesehatan yang menyatakan bahwa reproduksi dengan bantuan (IVF) hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami-istri yang sah dengan ketentuan

    • Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami-istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal;
    • Dilakukan oleh tenaga medis yang mempunyai keahlian dan kewenangan; dan
    • Dilakukan pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.

Dengan tidak dipenuhinya syarat sebab yang halal dalam suatu perjanjian, maka dapat berakibat menjadi dasar atau alasan bagi salah satu pihak untuk menuntut kebatalan demi hukum perjanjian tersebut karena perjanjian tidak memenuhi syarat sebab atau kausa yang halal, dan tidak ada landasan hukum bagi Anda untuk menuntut si ibu pengganti dalam hal ia tidak mau menyerahkan bayi yang dititipkan dalam rahimnya tersebut.

Sumber Hukum :

[1]   Pasal 1320 BW; dan
[2]   Pasal 1337 BW.