![]() |
Athaya Prameswari Rizki Saskiavi, S.H. |
PHOTO: https://www.jobstreet.co.id/
Perjanjian Kerja adalah perjanjian antara Pekerja dengan Pemberi Kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.[1] Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang diubah sebagian dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut UU Ketenagakerjaan), Perjanjian Kerja melahirkan suatu hubungan kerja antara Pekerja dan Pemberi Kerja.
Dalam UU Ketenagakerjaan, terdapat 2 (dua) bentuk Perjanjian Kerja, yaitu Perjanjian Kerja yang dilaksanakan secara lisan dan Perjanjian Kerja yang dilaksanakan secara tertulis.[2] Teruntuk Perjanjian Kerja yang dilaksanakan secara tertulis memiliki syarat formil untuk dipenuhi. Perjanjian Kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya harus memuat :
- nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha Pemberi Kerja;
- nama, jenis kelamin, umur, dan alamat Pekerja;
- jabatan atau jenis pekerjaan;
- tempat pekerjaan;
- besarnya upah dan cara pembayarannya;
- syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban Pemberi Kerja dan Pekerja;
- mulai dan jangka waktu berlakunya Perjanjian Kerja;
- tempat dan tanggal Perjanjian Kerja dibuat; dan
- tanda tangan para pihak dalam Perjanjian Kerja.[3]
Apabila tidak memenuhi syarat-syarat seperti di atas, maka dapat dipertanyakan mengenai keabsahan dari Perjanjian Kerja tertulis tersebut.
Berdasarkan jangka waktu berlakunya Perjanjian Kerja, Perjanjian Kerja terbagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Terdapat persyaratan khusus yang mewajibkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dibuat secara tertulis. Sehingga jika Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dibuat secara lisan, maka secara otomatis akan dianggap sebagai Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).[4]
Terdapat banyak fenomena Pekerjaan dengan waktu tertentu yang hanya berdasar pada Offering Letter. Substansi dari Offering Letter pun sama sekali tidak memenuhi syarat formil dari sebuah Perjanjian Kerja tertulis yang dipersyaratkan oleh UU Ketenagakerjaan sebagaimana telah disebutkan di atas. Sehingga, sebuah Offering Letter tidak dapat melahirkan hubungan kerja antara Pemberi Kerja dan Pekerja, karena bukan merupakan suatu Perjanjian Kerja yang memuat hak-hak serta kewajiban-kewajiban para pihak.
Sayangnya, banyak Pekerja yang tidak terlalu memahami tentang unsur-unsur Perjanjian Kerja yang benar dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Banyak praktik pelaksanaan Hubungan Kerja yang berdasar pada Perjanjian Kerja yang tidak jelas, contohnya seperti Offering Letter. Tentunya disini, Pekerja tidak memiliki bargaining position untuk mendiskusikan hal-hal penting terkait pekerjaan yang akan diterimanya dengan Pemberi Kerja.
Jadi, sebelum melaksanakan suatu Hubungan Kerja, pastikan dasar Hubungan Kerja tersebut telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sumber Hukum :
[1] Pasal 1 Angka 14 UU Ketenagakerjaan;
[2] Pasal 51 UU Ketenagakerjaan;
[3] Pasal 54 UU Ketenagakerjaan; dan
[4] Pasal 57 Ayat (2) UU Ketenagakerjaan.