Syarifah Nurafilah Iryan, S.H.


PHOTO: https://images.app.goo.gl/9uRZSy3qywJWbMNA6

Masyarakat Indonesia hingga media sosial kembali diramaikan dengan polemik kasus pembunuhan Vina dan Muhammad Rizky yang terjadi pada Tahun 2016. Hal tersebut dikarenakan hingga saat ini pada Tahun 2024, pelaku utama pembunuh Vina dan Muhammad Rizky masih belum ditangkap dan diadili. Pada bulan Mei 2024 yang lalu, Polda Jawa Barat menetapkan Pegi Setiawan sebagai tersangka pembunuh Vina dan Muhammad Rizky. Namun, polemik kasus pembunuhan ini masih belum berakhir. Tim penasihat hukum Pegi Setiawan mengajukan praperadilan Pegi Setiawan yang ditetapkan menjadi tersangka kasus pembunuhan Vina dan Muhammad Rizky dengan alasan bahwa proses penetapan Pegi Setiawan sebagai tersangka hingga penahanan Pegi Setiawan adalah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Dalam hal untuk kepentingan terlaksananya pemeriksaan tindak pidana, pada dasarnya undang-undang memberikan kewenangan bagi penyidik dan penuntut umum untuk melakukan tindakan upaya paksa seperti penangkapan, penahanan, penyitaan, dan lain sebagainya. Setiap upaya paksa yang dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa tersebut, pada hakikatnya merupakan sebuah perlakuan yang wajib bersifat sebagai tindakan yang dibenarkan oleh undang-undang demi kepentingan pemeriksaan tindak pidana yang disangkakan kepada tersangka. Perlu dipahami bahwa dalam pelaksanaan tindakan upaya paksa tersebut juga perlu dilakukan pengawasan dan pengujian terkait apakah tindakan tersebut bertentangan dengan hukum atau tidak, sehingga diadakan suatu lembaga yang diberi wewenang untuk memutus sah atau tidaknya tindakan upaya paksa yang dikenakan kepada tersangka. Kewenangan pengujian dan penilaian yang dilakukan penyidik dan/atau penuntut umum tersebut merupakan kewenangan praperadilan.

Dalam Pasal 1 angka 10 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam KUHAP, tentang : [1]

  • Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan/atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
  • Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
  • Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

Objek praperadilan sebagaimana tersebut di atas, kemudian dipertegas dalam Pasal 77 KUHAP jo. Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 yang menentukan bahwa pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus : [2]

  • Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan;
  • Ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkaranya dihentikan pada Tingkat penyidikan atau penuntutan.

Terkait syarat pihak yang dapat mengajukan praperadilan, antara lain yaitu :

  • Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya. [3]
  • Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya. [4]
  • Permintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya. [5]

Dapat dipahami bahwa Praperadilan bertujuan untuk melaksanakan pelindungan terhadap hak asasi manusia terutama hak asasi tersangka dan terdakwa selama menjalani proses peradilan agar terhindar dari tindakan kesewenang-wenangan penyidik dan/atau penuntut umum. Praperadilan pada dasarnya tidak hanya dapat diajukan oleh tersangka atau terdakwa saja, tetapi juga dapat diajukan oleh penyidik ataupun penuntun umum. Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa pelaksanaan praperadilan merupakan wujud upaya untuk mempertahankan dan mewujudkan keadilan.

 

Sumber Hukum :

[1] Pasal 1 angka 10 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;
[2] Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana jo. Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014
[3] Pasal 79 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;
[4] Pasal 80 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana; dan
[5] Pasal 81 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.