Winan Hilmi Rizqin Prijatna, S.H.


PPHOTO: Google

Bentuk Pelanggaran Merek Pada E-Commerce

Pelaku usaha seringkali melakukan tindakan pelanggaran hak atas merek milik orang lain yang telah terdaftar atau melanggar hak atas merek terkenal. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran merek bertujuan untuk memperoleh keuntungan pribadi dengan mencoba atau melakukan tindakan, meniru, atau memalsukan merek-merek yang sudah dikenal oleh masyarakat tanpa memikirkan hak-hak orang lain yang haknya telah dilindungi sebelumnya.[1] Pelanggaran merek yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam melakukan perdagangan e-commerce yang tidak jujur terbagi atas 3 (tiga), antara lain sebagai berikut :

  1. Peniruan merek dagang (trademark piracy);
  2. Pemalsuan merek dagang (counterfeiting);
  3. Perbuatan mengelabui publik mengenai sifat dan asal-usul merek (limitations of labels and packaging).

Peniruan merek merupakan upaya mempergunakan suatu merek dengan cara meniru merek lain dengan tujuan untuk menimbulkan kesan produksi yang sama untuk barang dan/atau jasa sejenis. Lalu, pemalsuan merek merupakan upaya tanpa hak untuk memproduksi barang-barang dengan menggunakan merek yang telah dikenal oleh masyarakat. Kemudian, perbuatan mengelabui publik mengenai sifat dan asal-usul merek adalah pencantuman keterangan sifat dan asal-usul barang yang seakan-akan memiliki kualitas yang bermutu dari produsennya.

Namun selain itu, terdapat tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab dalam menggunakan hak atas merek yang bukan miliknya yaitu berupa cybersquatting. Cybersquatting merupakan tindakan pendaftaran (penggunaan) nama (terkenal) orang lain sebagai internet domain name yang dilakukan oleh pihak yang tidak berhak.[2] Domain name atau nama domain dapat diartikan sebagai alamat internet penyelenggara Negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat, yang digunakan dalam berkomunikasi melalui internet, yakni berupa kode atau susunan karakter yang bersifat unik untuk menunjukkan lokasi tertentu dalam internet. Praktik cybersquatting bertujuan untuk memperoleh suatu keuntungan yang besar dengan cara memperkenalkan suatu produk melalui internet untuk menjual produk yang sejenis dan/atau tidak sejenis yang dijual tanpa sepengetahuan pemilik merek yang sesungguhnya.[3].

Tanggung Jawab Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Atas Pelanggaran Hak Merek Pada E-Commerce

PSE bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan sistem elektronik.[4] Meskipun demikian, Pasal 15 ayat (3) UU ITE menyatakan bahwa terdapat pengecualian jika barang yang ada di dalam suatu marketplace tersebut dimiliki oleh merchant sebagai pengguna, maka PSE tidak dapat dimintai pertanggungjawaban. Hal tersebut dikenal sebagai prinsip safe harbour. Safe harbour adalah pelepasan tanggung jawab kepada subjek hukum apabila PSE telah melakukan langkah perbaikan atau pencegahan. Sehingga, PSE dapat melepaskan tanggung jawabnya apabila telah melakukan upaya preventif dalam terjadinya pelanggaran hak atas merek dalam platformnya. Prinsip safe harbour memiliki tujuan sebagai pembatasan pertanggungjawaban PSE. Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) Perkominfo 5/2020 menyatakan bahwa PSE wajib untuk memiliki tata kelola mengenai informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik serta menyediakan sarana pelaporan. Sehingga, dapat diketahui jika PSE dapat dibebaskan dari suatu tanggung jawab hukum apabila telah memiliki terms of use atau yang dapat dikategorikan sebagai tata kelola mengenai informasi elektronik dengan disertai mekanisme pelaporan yang jelas.

Namun, apabila terjadi pelanggaran hak atas merek pada marketplace dan PSE yang bersangkutan tidak memiliki term of use yang jelas, maka PSE tersebut dapat dibebani tanggung jawab hukum atas terjadinya suatu pelanggaran hak atas merek.

 

Sumber Hukum :

[1] OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), Raja Grafindo Persada, 2010;
[2] Rahmi Jened, Penggunaan;
[3] Rifva Putri, Enni Soerjati, dan Tasya Safiranita, Pertanggungjawaban Hukum Terhadap Penyelenggara Sistem Elektronik Atas Promosi Minuman Beralkohol Berdasarkan Hukum Positif Indonesia, Jurnal Indonesia Sosial Teknologi Vol. 3 No. 11, 2022; dan
[4] Pasal 15 ayat (2) UU ITE.